Beberapa waktu lalu, muncul tren soal inner child di media sosial. Dalam tren itu, orang-orang bercerita tentang masa kecilnya yang sulit dilupakan. Mereka membagikan kebiasaannya di masa kini yang ternyata hasil dari keinginan di masa lalu yang belum terpenuhi. Apakah Anda termasuk salah satunya?
Seperti Rachel Vennya misalnya, yang selalu antusias memberikan kejutan ulang tahun kepada orang di sekitarnya. Sebab menurut Rachel, hanya di momen ulang tahun itu lah sang ayah menghubungi dirinya.
Lantas, benarkah inner child berpengaruh di kehidupan dewasa?
Psikolog Klinis Dewasa Rumah Dandelion, Melisa, mengatakan inner child adalah bagian dalam dari individu yang tidak ikut bertumbuh menjadi sosok dewasa dan tetap menetap dengan sisi anak-anaknya.
Menurutnya, ketika inner child seseorang lebih dipenuhi dengan pengalaman negatif, kebutuhan dasarnya jadi tidak terpenuhi. Kebutuhan dasar yang dimaksud seperti rasa aman dan kasih sayang dari orang terdekat yang dibutuhkan di masa kanak-kanak.
\”(Ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi) Maka individu yang bersangkutan akan lebih rentan untuk mencari kekosongan inner child-nya hingga dewasa,\” ujar Melisa dikutip dari Kumparan.
Oleh karena itu, kata Melisa, agar inner child yang terluka ini tidak berujung pada perilaku destruktif, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah sadar akan kehadiran inner child tersebut. Kemudian merangkulnya untuk menjadi bagian di masa dewasa saat ini.
Ilustrasi inner child Foto: Shutter Stock
Selain itu, seseorang juga bisa berdialog dengan inner child melalui pengenalan emosi yang dirasakan di masa dewasa, menuliskan surat untuk inner child dan menyandingkannya dengan meditasi. Hal tersebut akan mendukung proses dengan dialog inner child berjalan lebih optimal.
\”Jangan ragu ya untuk meminta bantuan tenaga profesional jika dibutuhkan. Proses berdialog dengan inner child jadi proses yang panjang dan sangat personal karena kondisi di masa kanak-kanak setiap individu berbeda-beda,\” ujarnya.